Malam menutup hari, menerangi kegelapan dengan para bintang yang menggantung. Bocah-bocah berusia sekitar sepuluh tahunan bermain dengan riang selepas shalat di mushala kampung. Pakaian bocah-bocah itu lusuh. Bagai mendengar panggilan dari sang bintang, salah seorang dari mereka mendongak melihat langit. Ia gembira menjumpai jutaan bintang di langit kampung pedalaman Sumatera Utara itu. Salah seorang temannya melihat gelagatnya dan ikut menatap ke atas. "Sedang apa kau Tak?" Tanya temannya itu heran. "Aku
penasaran dengan bintang-bintang itu! Bisa tidak ya kita kesana?" Bocah yang biasa dipanggil Taki itu menjawab polos. "Ah kau ada-ada saja! Mana bisa kita terbang!" Sahabatnya yang bernama Burhan itu menggelengkan kepala. "Tapi tak bisakah kita menelitinya? Seperti para ilmuwan itu-lah! Menemukan rumus-rumus, atau kendaraan untuk keluar langit!" Taki tersenyum berkhayal. "Ah, mimpimu terlalu tinggi! Ingatlah
Tak, kita ini anak orang tak punya! Besok bisa makan pun sudah syukur kurasa! Kasihan umak-ayah kita, jangan kau bebankan dengan mimpimu yang terlalu tinggi itu!" Burhan memperingatkan. Taki menarik kepalanya demi menatap sahabatnya, "Tak bolehkah aku tinggi-tinggi bermimpi! Ah, terserah aku lah, aku yang memikirkan!" Burhan lelah menasihatinya "Terserahmulah!" Ia beranjak meninggalkan teman mainnya itu. Sore itu di kampung yang sama, angin mulai bertiup sejuk, sinar matahari tak lagi menusuk kulit. Selepas mandi bocah-bocah kampung bermain-main lagi. Mereka tak perlu uang untuk menghibur diri mereka. Mereka bisa dengan kreatif bermain memanfaatkan kemurahan alam. Saat kelelahan, Taki menelentangkan diri di tanah. Lagi-lagi ia tertarik melihat langit. Beberapa temannya yang juga kelelahan mengikuti tingkahnya. "Lihat apa kau Tak?" Kali ini, Faiz yang telentang di sebelahnya yang bertanya. "Aku suka melihat langit! Tak tertarikkah kau Faiz? Langit itu misterius, aku ingin menyibaknya, menemukan apa gerangan dibaliknya!" Taki mencurahkan lagi impiannya "Ah aneh kau Tak! Langit mana bisa disibak! Lagipula sudah cukup kurasa guru menjelaskan. Disana ada bulan, matahari dan planet-planet, ah entah apa namanya, tak hapal aku!" Faiz berfikir sederhana. Taki yang memang besar rasa penasarannya tidak setuju. "Ah tak cukup itu buatku! Ingin aku menemukan lebih!" Taki asyik mengamati bentuk gumpalan dan semburat awan, mengilat memantulkan cahaya mentari. "Kau temukan saja bintang jatuh kalau kau bisa! Kau umumkan nanti!" Faiz menyarankan sok tahu, "Tapi kalau kau terkenal, ajak-ajak aku ya!" Imbuhnya. "Ah mana pula bintang bisa jatuh!" Taki menganggap istilah itu konyol. "Tapi sering kudengar orang menyebut istilah bintang jatuh!" Faiz membela diri. "Ah terserahmulah percaya atau tidak! Tapi kau kan tidak punya banyak uang Tak!" Faiz mengomentari. "Lalu?" Taki mengernyitkan alis. "Naik apa pula kau menyibak langit? Harga naik pesawat terbang saja sudah tak terjangkau oleh kita! Asal kau tahu Tak, itu setara uang makan kita lima bulan! Kau tahu itu?" Informasi Faiz sok pintar. "Aku nanti yang akan mencari jalannya, tak akan kubiarkan umak atau ayahku yang mencari uangnya!" Taki tersenyum optimis. "Bagaimana pula caranya, ah bermimpi sajalah kau Tak!" Faiz mulai merasa impian temannya itu konyol. "Kau lihat saja Faiz! Suatu hari nanti wajahku akan muncul di tivi karena bisa menguak langit itu! Kau dengar itu!" Janji Taki Optimis. Delapan belas tahun kemudian peristiwa itu terjawab. Di sebuah gedung yang megah dengan arsitektur yang ditata elegan, semua pihak sibuk menyiapkan sebuah konferensi pers istimewa. Semua yang berlalu lalang terlihat tinggi besar badannya dengan ras Kaukasoid atau Negroid. Semua orang terdengar fasih melafalkan ucapan berbahasa inggris, Tentu saja, inilah Amerika, tempat semua mimpi bisa jadi nyata, juga tempat dimana NASA akan meluncurkan pesawat baru untuk meneliti Mars. Semua orang yang bersiap segera sumringah wajahnya mengetahui serombongan anggota NASA mulai datang menuruni mobil-mobil mewah. Yang menjadi pusat perhatian disini tentu saja mereka yang akan diterbangkan dalam pesawat terbaru itu. Berbagai channel televisi mulai meliput wawancara dengan para astronot yang diberi kepercayaan dalam misi itu. Di sebuah kampung, para warga berkumpul di rumah seorang suami-istri renta, bergembira menyaksikan wawancara itu. Kebanyakan diantaranya remaja dan anak-anak. Terlihat salah seorang reporter tertarik membawa seorang astronot dalam pembicaraannya. Astronot yang ini memiliki ras mongoloid, pemuda yang wajahnya sangat asia. Senyum kemenangan tersungging di wajahnya, tersiar langsung ke seantero antena yang menontonnya. "Anda, Mr Taqiyuddin, kalau tidak salah cuma anda yang berasal dari Asia dalam perjalanan ini ya? Bagaimana komentar anda?" Si Reporter wanita menyodorkan miknya. "Alhamdulillah, iya! Saya bersyukur bisa memenuhi mimpi kecil saya ini atas kerja keras saya!" Wajah asia nan rupawan itu menjawab berwibawa. "Darimana anda berasal?" Si reporter mengkonfirmasi. "Indonesia, sebuah tanah surga di garis khatulistiwa! Tepatnya dari Sumatera Utara!" Pemuda itu menjawab bangga. "Dan karena ini penerbangan pertama anda, apakah keluarga anda ada si sini menyaksikan langsung?" Reporter wanita kembali menyodorkan miknya. "Tidak, sayangnya mereka tidak bisa berpergian jauh karena orangtua saya sudah terlalu tua! Tapi saya yakin mereka menyaksikan saya dari sana!" Ia melambai ke kamera. "Kalau begitu apa ada yang ingin anda ucapkan ke keluarga atau kerabat yang menonton anda?" Reporter itu menawarkan kesempatan. Mata pemuda itu menahan haru, khusus kali ini ia berbicara penuh dengan bahasa indonesia. "Terimakasih umak, ayah! Aku ada di sini berkat do'a dan restu kalian! Do'akan Taqi selama di perjalanan ini! Buat semua anak-anak, khususnya anak Indonesia, jangan takut buat bermimpi sesusah apapun hidup kalian! Karena mimpi ini aku bisa berdiri di sini! Selama kita tidak menyerah meraih mimpi itu, bukan mustahil mimpi itu akan menjadi nyata!" Taqiyuddin mengepalkan tangan, menahan haru yang membuncah mengenang perjalanannya menuju mimpinya yang banyak ditentang dan diremehkan orang. "Oh iya satu lagi!" Tambah Taqiyuddin teringat. "Faiz, Burhan, lihat ini! Benar kan apa yang kubilang dulu! Aku sudah memenuhi janjiku! Jangan lagi kalian meremehkan mimpi siapapun!" Taqi tersenyum menahan tawa geli teringat perkataan kedua sahabatnya itu. "Karena aku sudah membuktikannya, awas kalau kalian tidak menepati janji kalian untuk membelikanku sarung saat aku pulang nanti!"
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini
nyimak gan...
BalasHapus